Rheisnayu Cyntara/JIBI-Harian Jogja
Bisnis.com, BANTUL—Dalam memori warga masyarakat Dusun Dlingo 1, Dlingo yang telah sepuh, mereka mempercayai pohon dadap serep yang tumbuh tak jauh dari Belik Dadap-lah yang selama ini membuat aliran sumber air tersebut tak pernah berhenti meski musim kemarau tiba.
Pagi belum purna, matahari masih tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Tetapi pada sepetak bangunan dengan tembok bercat biru, tepat di depan masjid desa, sudah terdengar kecipak air dari dalamnya.
Semakin mendekat ke sisi bangunan yang terbuka, tumpukan cucian yang baru usai dibilas bertumpuk di atas lantai keramik. Ember hitam dari ban bekas yang tersambung dengan selang hijau ke hamparan ladang, tergeletak di tegalan.
"Ngge nyiram Soto ," ujar seorang perempuan sepuh sambil mengunyah sirih pinang di mulutnya.
Ia, Sariyem, yang rumahnya dapat ditempuh dengan sepuluh menit berjalan kaki dari Belik Dadap itulah yang sepagi ini telah menimba air untuk menyirami ladang tembakau miliknya.
Tangannya yang telah keriput penanda usia masih kokoh mengangkat air Belik Dadap dengan ember yang disambung dengan segalah bambu. Air itu kemudian dialirkan ke tengah ladang menggunakan selang yang kemudian ditampung dengan bekas kaleng aspal.
Tangannya yang telah keriput penanda usia masih kokoh mengangkat air Belik Dadap dengan ember yang disambung dengan segalah bambu. Air itu kemudian dialirkan ke tengah ladang menggunakan selang yang kemudian ditampung dengan bekas kaleng aspal.
Sariyem mengenang, dahulu kala saat Belik Dadap jadi satu-satunya sumber air, orang-orang yang ingin menyiram ladang bahkan harus antri sejak petang malam untuk menimba. "Kalau pas musim siram mereka umbyung-umbyungan lembur dari malam. Nek ora, ora uman ," ucapnya sambil membenahi gelungan rambutnya yang telah memutih.
Sambil menimba, pandangannya menerawang. Ia mengenang kala itu, para petani membawa kaleng bekas wadah kerupuk yang digunakan sebagai ember untuk menyiram ladang. Kaleng bekas itu kemudian dipanggul dengan sebilah bambu dan seutas tali.
Jika hari sudah fajar hingga senja tiba, para petani akan mengantre bersama penduduk yang sedang mandi. Mereka berjejer, memakai jarik, bahkan terkadang sambil mencuci baju. "Dulu enggak ditutup seperti sekarang, ada kamar mandi dan kran," ucapnya.
Bangunan bercat biru tersebut, menurut Sariyem baru ada sekitar 10 tahun terakhir, beberapa saat setelah pohon beringin dan dadap serep yang tumbuh mengakar di Belik Dadap tumbang. Berdasarkan cerita neneknya dahulu, sumber air ini awalnya hanya berupa belikan yang beraliran kecil kemudian dijadikan galengan oleh warga sekitar.
Baru setelah ada bangunan permanen, Belik Dadap kemudian disemen, dibagi menjadi dua kolam dengan kedalaman sekitar tiga meter. Airnya pun kemudian dipompa ke atas dengan pipa untuk dialirkan ke rumah sekitar dan masjid yang berada tepat di sebelahnya.
Baru setelah ada bangunan permanen, Belik Dadap kemudian disemen, dibagi menjadi dua kolam dengan kedalaman sekitar tiga meter. Airnya pun kemudian dipompa ke atas dengan pipa untuk dialirkan ke rumah sekitar dan masjid yang berada tepat di sebelahnya.
"Airnya tak berhenti rendeng atau ketiga , kalau rendeng bahkan bisa membludak sampai sawah," katanya sambil menunjuk petak-petak sawah di sekitarnya.
Saat masih berupa galengan dan masih ada akar kokoh dari pohon beringin dan dadap itulah masa di mana para penduduk masih sangat bergantung pada Belik Dadap.
Ia berkisah, akar-akar pohon mencengkeram kuat pada batu-batu sekitar belik dan menjaga sumer air tersebut. Saat kedua pohon tersebut tumbang dan air PAM mulai masuk desa, ia mengenang saat itulah penduduk telah mulai lupa dengan eksistensi Belik Dadap ini.
Mereka lebih memilih menggunakan air PAM, dengan hanya membuka kran, air sudah mengalir lancar. Tak perlu repot-repot menimba dengan ember dan segalah bambu seperti yang masih dilakukan oleh Sariyem.
"Apalagi setelah gempa 2006, aliran air di sini mulai mengecil," ucapnya.
Memori perempuan sepuh berusia 65 tahun tersebut tak berhenti di situ. Meski alirannya pernah kering sekitar dua bulan medio 1963, ia ingat betul dahulu penduduk desa sekitar bahkan rela berjalan jauh untuk mengambil air dari Belik Dadap.
Menurutnya, Pohon Beringin dan Dadap Serep yang telah tumbang belasan tahun lalu itulah yang selama ini mengikat air agar tetap mengalir di sumber air tersebut. Maka ketika pekan lalu, ratusan warga melaksanakan pawai mengelilingi kampung dengan tujuh buah gunungan dilengkapi dengan bregada berseragam adat di barisan depan mengarak pohon dadap yang akan ditanam, ia menganggap hal tersebut lumrah.
Sebab meskipun telah banyak yang menggunakan air PAM, Belik Dadap tetap menjadi sumber air yang dibutuhkan.
Apalagi ritual yang dinamai Ngarak Dadap ini tidak dilaksakan tahunan, namun hanya dilangsungkan saat Pohon Dadap Serep di samping Belik Dadap telah mati. Kali ini bahkan baru diganti belasan tahun setelahnya. "Ya harus hidup pohonnya, bagaimanapun caranya," ujarnya lugas.
Kepala Desa Dlingo 1, Seno menuturkan pohon dadap serep ini memang memiliki banyak manfaat. Salah satunya untuk menurunkan demam pada anak yang sedang sakit.
Daun pohon dadap yang berbentuk lebar itu akan direndam dan ditempelkan pada dahi anak. Tidak lama, suhu anak yang sedang demam tersebut akan turun.
Dadap serep bagi masyarakat Dlingo secara filosofi dijelaskan Seno dipercaya akan membawa ketentraman dan kenyamanan. “Kalau pohon ini tidak mati, warga juga memanfaatkan untuk keperluan lain,” ujarnya.
Dumber berita : harian jogja
0 komentar :
Posting Komentar
Terimakasih telah berpartisipasi memberikan komentar terbaik anda. Isi komentar di luar tanggung jawab redaksi.